Renungan Islam - Kutinggalkan Peperangan Menuju Jalan Sepi Bernama Puisi


Kutinggalkan peperangan menuju jalan sepi bernama puisi. Kutebasi urat-urat kebingungan di batang pikiran. Kata-kata hanya memuntahkan semiotika, retorika, dan intimidasi tanpa henti. Membekap setiap mulut dengan sampah teknologi. Bau apek dan sesak ambivalensi.

Ah, sudahlah. Mungkin diam lebih bijaksana sebab angin yang bergerak tak dapat dirunut asalnya. Biar malam yang mengajar keheningan, sebab dalam tenangnya selalu kutemukan mimpi berkelindan. Tentang puluhan ribu capung yang bermigrasi dari danau ke danau, tanpa denyut tanpa kicau.

Dari bukit yang gigil itu udara mencair, mengalirkan rindu dari kawah panas ke bekunya pagi. Begitu pendek jarak langit dan bumi, jarak lahir dan mati, jarak tawa dan sedih. Yang jauh adalah tulisan yang tersapu ombak, seperti waktu yang terus menggelinding tak mau tahu. Menggilasmu. Masa lalu.

Ke mana perginya nama? Ketika jembatan cinta ambruk seketika, itu tanda rapuhnya rasa yang terbina. Kini peta yang koyak dulu kembali tertata. Simbol-simbolnya adalah tangga yang mengantarkan ke lantai penghabisan. Setiap alurnya adalah bara merah yang melambungkan harap tanpa sudah. Air mata hanyalah gerimis yang turun di sepertiga malam, gaduh berlompatan dari kepala lalu memarit di pipi. Mungkin begitu cara bijak melupakan perih. Selalu ada yang terbaik setelah yang pergi.

Dengannya, tangkai layu itu kembali tegak menapaki hari. Segar bermandi embun dan kilau mentari. Menari bersama angin, ilalang, dan daun-daun palma. Terus melangkah meski jarak berjuta tahun cahaya. Berpuluh kupu-kupu beterbangan ke dalam matanya yang teduh. Kembali menghangatkan kopi pagi yang sedari tadi tak disentuh. Menguatkan jiwa yang rapuh. Menceriakan wajah yang keruh. Ke dermaganyalah segala rasa berlabuh.

Dengan sederhana semua bermula, dan berharap indah di penghujungnya. Tak ada yang luar biasa, yang tak biasa adalah caranya memandang biasa. Begitulah cinta baru berharga bila diberikan kepada yang bisa menghargainya. Bukan karena apa-siapa. Hanya Fillah.

Ini bukan memorabilia. Ini adalah mimpi yang mewujud nyata. Bersama ribuan doa, gerak ikhtiar, dan tawakkal tak berhingga. Jarak yang menganga hanyalah jalan-jalan yang terbuka. Waktu yang membentang hanyalah saat-saat menunggu hujan reda. Lihat langkahnya, nyaris tanpa suara. Hanya senyap yang tajam, yakin dan pasti, Rabb menyertai.

Aku di sini, menanti hingga sabar memekar. Seperti mawar yang membuka kelopaknya pada usai tak padam. Akan tiba saatnya, ketika gelombang rindu menyajikan debur sempurna. Pada batu karang yang mengeras oleh jarak dan waktu. Tak ada lagi sempit menghimpit, hanya hamparan air meluas samudera, dan milyaran warna di langit senja. Lalu bersama mengintip bintang dari celah awan jingga. Dengarlah, angin selalu saja menggoda nyiur yang bergerak malu-malu, ketika hamburan kata berubah menjadi dekap yang mengerat, dan senyum putih di pesisir pantai. Aduhai.

Pada akhirnya, mimpi yang melelahkan itu akan sampai juga. Hari akan tetap seperti kemarin, menusukkan melodi tajam pada biola yang menjerit di jemari, lalu berganti lembut membuai hati. Sebab hidup adalah orkestra dan aku gembira menyusun partiturnya.

Apapun, syukur padaMu, Rabb semesta.

Sumber : Facebook  Faqeera Khaleeda

0 Response to "Renungan Islam - Kutinggalkan Peperangan Menuju Jalan Sepi Bernama Puisi"

Posting Komentar