Ketika Hati Gelisah Kelak Diminta Pertanggungjawaban Akibat Kedengkian Pikiran Yang Terlintas


Banyak yang saya takutkan ketika di pengadilan kelak, tapi dua hal yang paling menggelisahkan, hati dan akal ketika diminta pertanggungjawaban.
Saya adalah orang yang paling suka mengamati, memerhatikan, mengimajinasikan, menganalisa, dan merenungkan. Saya juga menyukai hal-hal yang bersifat abstrak, surealis, mistis, teka-teki, nggak jelas dan semua yang menggoda rasa penasaran dan keingintahuan saya. Mungkin itu yang menyebabkan otak saya berpikir secara acak-absurd, random, dan belakangan mengalami kemiringan beberapa derajat. Geje.

Ya, terkadang saya menikmatinya, menyukai diri saya yang seperti itu. Tapi suka saja tidak cukup. Perlu adanya kesinkronan antara kesukaan saya dengan kesukaan Rabb yang menciptakan saya.

Mengontrol pikiran, tidak semudah mengendalikan fisik ketika berbuat kesalahan. Dalam waktu sepernano detik, pikiran melesat melebihi kedipan mata. Membersit. Melintas. Membayang. Berlari. Melompat. Merambat. Sel demi sel menjalin membentuk labirin-labirin amat panjang, bercabang, menyerabut. Kadang memutar, melilit, acak rumit. Kadang tersusun, tertata. Simpul demi simpul terangkai, mengakar, berkecambah, di batang kepala.

Pun, dengan hati. Kemampuannya “merasakan” hanya membutuhkan waktu sepersekian detik. Bahagia yang berubah duka. Benci yang berganti cinta. Gejolak yang tiba-tiba mereda. Rindu yang menjadi menggebu. Mellow-dramatis yang berbalik ambisius-mengalahkan. Semangat yang terbanting futur. Ikhlas yang bercampur riya’. Pemurah yang berbalut dengki. Zuhud yang tersusup angkuh. Lompatan-lompatan rasa membentuk gelombang yang terus berayun. Naik turun. Fluktuatif.

Ada kalanya saya menikmati nuansa, merasakan menjadi manusia paling dramatis di “dunia saya”. Tapi tak jarang saya jadi tersiksa karenanya. Bukan cuma jiwa saya yang sakit, tapi juga raga. Bagaimana tidak, jantung saya jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Saya takut, takut tiba-tiba dia berhenti. Lalu mati dengan kecamuk pikiran dan hati. Ah. Mungkin saya harus mengubah diri saya yang seperti ini. Melupakan ada sosok yang seperti itu dalam diri saya. Menjalani kehidupan seperti orang yang saya lihat dari “luar”. Semua tampak biasa. Tak ada gejolak, benturan-benturan emosi, atau ego yang berombak. Semua nampak biasa. Biasa jika memandang dari luar. Setidaknya itu membuat saya lega. Membebaskan beban yang membuntut bak bayangan. Sekali-kali itu perlu.
Sayang, hidup dengan romantikanya, menuntut setiap orang untuk terus berpikir dan merasa. Mata adalah anugerah yang indah, tapi dia juga bisa menjadi jendela fitnah, bagi hati dan pikiran.
Ketika melihat seseorang, timbul pikiran di benak saya, menilainya begitu-begini. Muncul prasangka. Berjumpa seorang wanita yang mengumbar auratnya dengan pakaian superseksi, pikiran saya langsung menuju bagaimana jilatan api neraka membakar tubuhnya. Saat melihat beberapa laki-laki dewasa bermain kartu dan mabuk di pangkalan ojek di waktu khutbah Jumat berkumandang, pikiran saya langsung terbang ke ruang gelap dan ular superbesar yang membersamainya. Demi tuhan saya takut menghakimi, takut sekali. Karena bisa jadi, di yaumil hisab nanti, mereka akan menunjuk saya dan berkata: “dia tahu, tapi tidak mendakwahi saya!” Astaghfirullah. Salah saya.

Betapa cepatnya pikiran melesat, betapa mudahnya hati menilai. Mungkin dosanya melebihi wajah si dia yang belum halal yang terus bersarang di pikiran. Siapa yang tahu ending kehidupan? Mereka yang saya lihat sekarang, belum tentu sebagaimana apa yang saya pikirkan. Jika sudah begitu, mungkin menjadi si Buta dari Goa Hantu akan jauh lebih baik. Menundukkan pandangan bukan saja dari melihat apa yang bukan menjadi hak mata, tapi yang berhak pun kadang mengundang fitnah, jika hati dan akal dibiarkan melanglang buana tanpa berdzikkir kepadaNya.

Ya Rabb, kendalikanlah pikiran hamba, kendalikanlah perasaan hamba, dan kendalikanlah semua yang meliputi dan memengaruhi pikiran dan perasaan hamba, agar berjalan sesuai dengan yang Kau inginkan.

Sumber : Facebook  Faqeera Khaleeda

0 Response to "Ketika Hati Gelisah Kelak Diminta Pertanggungjawaban Akibat Kedengkian Pikiran Yang Terlintas"

Posting Komentar